Kamis, 17 Desember 2015

Info Ikan Tuna


Pendahuluan
            Ikan merupakan bahan pangan yang sangat tinggi peminatnya.  Salah satu jenis ikan yang banyak diminati, baik di pasar lokal maupun internasional, adalah ikan tuna.  Yang dalam bahasa latinnya dikenal sebagai Thunnus sp dan dalam bahasa Inggris disebut skipjack.  Ikan tuna mempunyai daerah penyebaran sangat luas atau hampir disemua daerah tropis maupun subtropis.
Posisi perairan Indonesia yang terletak di antara Samudera Hindia dan Pasifik merupakan tempat perlintasan ikan tuna dalam jarak jauh.  Ikan tuna terdiri dari bermacam macam jenis, antara lain mandidihang/yellowfin (Thunnus albacores), mata besar (Thunus obesus), abu abu (Thunus tonggol), albakora (Thunus alalunga), dan sirip biru (Thunus thynnus).  Hingga saat ini tuna masih dihasilkan dari kegiatan penangkapan, bukan hasil budi daya.  Keberhasilan operasi penangkapan sangat ditentukan oleh keterampilan mengenali pola tingkah laku ikan tuna yang berkaitan dengan kebiasaan makan, suhu air, arus air, dan musim kawin.
Indonesia merupakan salah satu Negara pengekspor tuna terbesar di dunia.  Ikan tuna pada umumnya diekspor dalam bentuk segar utuh disiangi (fresh whole gilled and gutted), produk beku utuh disiangi (frozen whole gilled and gutted), loin (frozen loin), dan steak beku (frozen steak); serta produk dalam kaleng (canned tuna).
Produk produk tuna tersebut sebagian besar diekspor ke manca Negara dan hanya sebagian kecil yang dipasarkan di dalam negeri.  Dalam kurun waktu    1999 -2004, volume ekspor tuna mengalami kenaikan rata-rata sebesar 2,72 % per tahun yakni dari 87.581 ton menjadi 94,221 ton, sedangkan dari sisi nilai, terjadi kenaikan rata rata sebesar 5,56 % per tahun, yakni dari US $ 189,397 juta pada tahun 1999 menjadi US $ 243,937 juta pada tahun 2004 (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005).
Negara yang menduduki peringkat atas sebagai tujuan ekspor tuna Indonesia adalah Jepang (36,84 %), disusul Amerika Serikat (20,45 %), dan Uni Eropa (12,69 %). Data ini menggambarkan bahwa tiga negara/kawasan tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja ekspor tuna Indonesia (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005).
Namun, pelaku bisnis perikanan maupun pemerintah pusat hingga daerah masih menemukan sejumlah kendala dan tantangan untuk meningkatkan produksi dan kegiatan ekspor ikan laut di Indonesia, antara lain sarana dan prasarana jalan belum memadai termasuk infrastruktur pelabuhan dan pusat pendaratan ikan, sumber daya listrik dan bahan bakar minyak yang terbatas, fasilitas transport darat, udara, serta laut yang tidak menunjang sehingga biaya transport tinggi, adanya kegiatan penangkapan ikan ilegal dan penjualan ikan antarkapal dan pengelolaan perikanan belum mapan, seperti pendataan (logbook) dan pengendalaian penangkapan.
Dalam hal ekspor Ikan tuna nasional juga masih menghadapi masalah biaya pengiriman yang sangat tinggi, dari pengumpul di berbagai daerah sampai ke eksportir.  Selain itu, akibat keterbatasan fasilitas infrastruktur pengiriman ikan dari daerah ke beberapa eksportir, kualitas tuna menjadi turun.  Sampai saat ini, di Indonesia eksportir berbagai jenis produk perikanan, termasuk tuna hanya berpusat di tiga kota besar, yaitu Denpasar Bali, Makassar dan Jakarta. 

A. TUNA

Ikan tuna termasuk dalam keluarga Scombroidae, tubuhnya seperti cerutu mempunyai dua sirip pungung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang.  Mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur.  Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari jari penyokong menutup seluruh ujung hipural.  Tubuh ikan tuna tertutup oleh sisik sisik kecil, berwarna biru tua dan agak gelap pada bagian atas tubuhnya, sebagian besar memiliki sirip tambahan yang berwarna kuning cerah dengan pinggiran berwarna gelap (Ditjen Perikanan, 1983).
Tuna termasuk perenang cepat dan terkuat di antara ikan ikan yang berangka tulang.  Penyebaran ikan tuna dimulai dari laut merah, laut India, Malaysia, Indonesia dan sekitarnya.  Juga terdapat di laut daerah tropis dan daerah beriklim sedang (Djuhanda, 1981).
            Menurut CIC (2002), jenis ikan tuna dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu jenis tuna kecil seperti cakalang (skipjack), tongkol (kawakawa), dan lisong/komu (bullet tuna), serta tuna besar seperti madidinang (yellowfin), mata besar (big eye), albakor (albacore), dan sirip biru (blue fin).
            Ikan Tuna merupakan Salah satu potensi ikan laut yang menjadi andalan di Indonesia yang hidup di laut dalam khususnya di Perairan Indonesia bagian Timur meliputi Laut Makassar, Laut Banda, Laut Maluku, Laut Sulawesi, Laut Arafuru dan Laut Papua.  Menurut Purwito (2011), potensi produksi tuna di Indonesia hampir mencapai 1,2 juta ton per tahunnya dan nilai ekspor lebih dari 3,5 miliar Dolar Amerika Serikat (AS) pada tahun 2009.
            Menurut Purwito (2011), produksi tuna di Indonesia pada tahun 2005 dan 2006 sekitar 900.000 ton, memasuki 2007 hingga 2009 terjadi lonjakan kenaikan dengan rata-rata mencapai 1,1 juta ton per tahunnya. Indonesia juga memperlihatkan potensi ekspor tuna yang menjanjikan pada tahun 2005 dengan menembus angka 2,5 miliar Dolar AS, 2006 (2,6 miliar Dolar AS), 2007 (3,1 miliar Dolar AS), 2008 (3,4 miliar Dolar AS) dan 2009 (3,6 miliar Dolar AS).
            Potensi perikanan di Indonesia terdiri dari 11 Wilayah Potensi Perikanan (WPP), yakni Luat Andaman (Selat Malaka), Laut Sumatera bagian Barat, Laut Jawa bagian Selatan, Laut Jawa, Selat Karimata, Selat Makassar, Laut Banda, Laut Halmahera, Laut Sulawesi, Laut Papua dan Laut Aru.
            Namun, potensi perikanan di Indonesia belum sepenuhnya dieksploitasi. Menurut data dari Departemen Kelautan dan Perikanan, potensi lestari ikan tuna sebesar 473.343.000 ton per tahun , pada tahun 2001 baru dieksploitasi sebanyak 371.864 ton atau baru sekitar 0,079 % dari potensi lestari.  Ada banyak faktor yang diduga merupakan penyebab rendahnya produksi tangkapan dibandingkan potensi yang ada antara lain teknologi penangkapan yang belum maju, jumlah kapal penangkap ikan hingga adanya pencurian ikan (illegal fishing) oleh kapal kapal ikan asing.
            Menurut Purwito (2011), solusi mengatasi kendala yang dihadapi dalam peningkatan produksi ikan tuna antara lain harus ada kerjasama antara pemerintah dengan pelaku usaha perikanan sebagai mitra kerja yang sinergis, jalinan antarpemerintah daerah di kawasan Indonesia dengan tujuan mengoptimalkan sumber daya ikan, adanya dukungan dari pemerintah pusat dalam membangun infrastruktur produksi perikanan tuna, serta penyediaan insentif dari pemerintah pusat bagi pengusaha  yang ingin membangun perikanan tuna di Indonesia, serta upaya pengendalian produksi mulai dari perbaikan database penangkapan (logbook) dan pengawasan.
Menurut Hengkie (2011) upaya lain untuk mengatasi permasalahan peningkatan kegiatan produksi ikan tuna dapat melalui penegakan aturan, selektivitas alat tangkap, modifikasi armada penangkapan ikan, pendalaman metode penangkapan ikan yang tepat, revitalisasi dan efisiensi penangkapan ikan, pembatasan kapasitas penangkapan, sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan aturan, optimalisasi fungsi prasarana perikanan tangkap dan penguatan kelembagaan (koperasi) khusus pengusaha ikan maupun nelayan.

BIMAS, INMAS, INSUS, SUPRA INSUS DAN REVOLUSI HIJAU


Pendahuluan
Tujuan dari setiap tahap pembangunan adalah meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat dimana meletakkan landasan yang kuat untuk pembangunan tahap berikutnya. Visi pembangunan pertanian yaitu pertanian modern, tangguh dan efisien dengan berkecukupan pangan. Misinya adalah keterpaduan pembinaan dan pelayanan, partisipasi aktif petani, optimalisasi sumberdaya domestik, pengelolaan pangan/agroindustri, sistem distribusi dan pemasaran, dan penganekaragaman konsumsi (http://repository.unila.ac.id).
Pembangunan pertanian di Indonesia diawali dengan suatu program yang dinamakan Rencana Kasimo pada tahun 1945 yang kemudian dikembangkan menjadi Rencana Kesejahteraan Istimewa (1949). Sistem penyuluhan pertanian di Indonesia terus berkembang yang kemudian lahirlah program BIMAS (Bimbingan Massal) pada tahun 1964. Tugas utama Bimas adalah mengupayakan agar Indonesia mampu berswasembada beras. Pada periode 1967-1973, Bimas disempurnakan, bimbingan kepada petani diperluas bukan hanya petani yang menggunakan kredit usahatani, namun juga bimbingan dilaksanakan kepada petani yang telah mapan yang tidak memerlukan fasilitas kredit, pembinaannya menggunakan istilah Intensifikasi Massal (INMAS). Pada periode  1973-1987, diintroduksikan pembinaan dengan menggunakan pola Intensifikasi Umum (INMUM) dan Intensifikasi Khusus (INSUS). Tahun 1984, program Bimas  telah menghantarkan Indonesia mampu berswasembada beras dan pada tahun-tahun berikutnya Indonesia mampu mengekspor beras ke beberapa Negara (http://repository.unila.ac.id).
Untuk menyesuaikan dengan akselerasi dinamika pembangunan pertanian akibat pertambahan penduduk yang pesat, maka pada tahun 1987/1988 dintroduksikan SUPRA INSUS yang mengandung makna pembinaan (rekayasa teknologi, sosial dan ekonomi), dan pola Kredit Usaha Tani (KUT), sebagai pengganti pola Kredit Bimas. Untuk menyongsong era globalisasi dan perdagangan bebas pada millenium ke III, program Bimas berkembang menjadi dua program pokok yaitu program Bimas Nasional dan program Bimas Wilayah (spesifikasi). Pada periode 1998-2002, orientasi pembinaan Bimas diarahkan pada pengembangan agribisnis sehingga dilahirkan rekayasa Intesifikasi Berwawasan Agribisnis (INBIS). Bimas terus disempurnakan menjadi Program Bimas Intensifikasi Pertanian. Pada tahun 2005 hingga sekarang, pemerintah mencanangkan program Revitalisasi Penyuluhan Pertanian untuk mewujudkan pertanian tangguh untuk pemantapan ketahanan pangan, peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian serta peningkatan kesejahteraan petani (http://repository.unila.ac.id).
Pengertian Bimas dan Inmas
Bimas (Bimbingan Massal), adalah suatu kegiatan penyuluhan secara massal dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian dengan cara menetapkan pancausaha tani, yaitu penggunaan bibit unggul, ketetapan penggunaan pupuk, cara bercocok tanam yang baik, penggunaan obat pemberantas hama dan perbaikan sistem pengairan. Penyuluhan tersebut merupakan bimbingan bersama dari berbagai instansi dan lembaga pemerintah/ swasta ke arah swadaya masyarakat petani yang sekaligus ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat pada umumnya (Suyatno, 2007).
Inmas (Instruksi Massal) adalah Suatu Program Intensifikasi yang dilaksanakam melalui pemberian program kredit usaha bagi petani  sebagai langkah lanjutan bagi para peserta Bimas (http://army-as.web.id).
Sejarah dan Perkembangan Bimas dan Inmas Di Indonesia
Pembangunan pertanian di Indonesia yang selama ini telah berjalan ternyata tidak serta merta berjalan sebagaimana mestinya. Karena secara teoritis melalui industrialisasi sektor pertanian akan menciut dimana tenaga kerja akan terserap oleh kota - kota besar namun demikian sektor pertanian yang menciut tetap menghasilkan pangan yang cukup dengan kualitas yang tinggi (Wisnusaputra,2006).
Cliffort Geertz (1963) dalam tulisannya yang berjudul involusi pertanian (agricultural involution) menggungkapkan bahwa sifat masyarakat petani Indonesia di pedesaan khusunya daerah jawa menjadi statis, patas semangat dan penjlimetan ke dalam, dengan kemampuan peningkatan produksi sekedar sama (atau lebih kecil) dari laju kenaikan penduduk. Jika dikaitkan dengan seluruh masyarakat Indonesia (baik di desa maupun di kota jawa maupun luar jawa) adalah jalinan kemiskinan bersama, yang menyulitkan perekonimian Indonesia kearah take off, Geertz mengemukakn bahwa terdapat celah memungkinkan masyarakat petani melakukan pola adopsi baru dari mekanisme kekalahan diri, melalui petani lapisan atas yang inovatif, yang secara langsung dapat melibatkan petani lapisan bawah (http://turindraatp.blogspot.com).
Dengan pemikiran demikian, maka pada tahun 1965 (masa Orde Baru) terjadi adaptasi yang baru dan ini merupakan tonggak berdirinya BIMAS (Bimbingan Massal)  dan INMAS (Instruksi Massal) di Indonesia. Dengan hasil 2,5 % pertahun menjadi 6% pertahun dalam kurun waktu hanya 6 tahun yaitu pada tahun 1965-1971. Di tahun 1973 areal lahan intensifikasi pertanian mencapai 4,2 juta Ha (56% dari areal persawahan di Indonesia) atau 73% areal pesawahan di pulau jawa. Kondisi ini berdampak kepada penentu kebijakan pada saat itu Presiden Soeharto di mana pada tanggal 10 April 1972 memberi peringatan kepada Departemen Pertanian agar target pada repelita I sebanyak 15,7 juta ton di tinjau kembali. Presiden Soeharto memperingatkan agar penigkatan produksi beras tidak menimbulkan over supply (kelebihan stok). Sehingga kejadian ini segera di tindak lanjuti oleh Departem Pertanian yang pada akhirnya tanggal        4 mei 1972 target produksi pertanian (dalam hal ini beras) di pandang perlu untuk dikurangi. Sehingga puncak dari program kejayaan BIMAS yang berkelanjutan sejak tahun 1965 menimbulkan efek yang luar biasa dimana pada tahun 1984 Bangsa Indonesia mengalami swasembada pangan (khusunya beras) dan mendapat pengakuan dari dunia internasional melalui FAO. Hingga tahun 1993 selama 25 tahun kenaikan produksi beras di Indonesia mencapai 240% hingga menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa pengekspor beras dari sebelumnya bangsa pengimpor beras terbesar (http://turindraatp.blogspot.com).
Roling dan Van de Fliert (1994) menguraikan bahwa program BIMAS yang dahulu pernah berjalan hanya menekankan pada peningkatkan produksi padi tidak disertai dengan peningkatan kapasitas analisis petani dan penggunaan pupuk dan pestisida. Dampak dari program mengakibatkan terjadinya penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan, mengakibatkan pencemaran air, lingkungan, dan perusakan keseimbangan hara tanah. Benih padi unggul yang dianjurkan memiliki kerentanan terhadap hama wereng coklat jika dibandingkan dengan beberapa varietas lokal yang sudah ditanam oleh petani secara turun-temurun. Gencarnya anjuran pelaksanaan BIMAS juga menyebabkan varietas-varietas lokal yang seharusnya menjadi sumber plasma nutfah perlahan-lahan punah. Serangan wereng mengakibatkan sebagian besar petani peserta program BIMAS gagal panen dan petani menjadi tidak mampu membayar hutang kredit pupuk dan pestisida yang terlanjur dibeli sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk menanam benih varietas unggul (http://repository.ipb.ac.id).
Program Insus (Instruksi Khusus)
Insus adalah Pelaksanaan program Bimas oleh petani sehamparan secara berkelompok guna memanfaatkan potensi lahan sawah, teknologi, daya dan dana secara optimal. Kegiatan kelompok tani secara keseluruhan diprakarsai oleh kelompok inti dalam merumuskan rencana kerja, mencari dan menyebarkan informasi, memimpin dan mengawasi kegiatan anggota, melakukan usaha-usaha dan hubungan kerjasama anggota, melakukan usaha-usaha dan hubungan kerjasama dengan pihak luar kelompok serta menghadiri forum-forum komunikasi dengan para pemuka masyarakat di desanya (http://repository.ipb.ac.id).
Untuk mensukseskan program ini ditetapkan penyaluran pupuk melalui KUD. Dalam rangka pembinaan KUD, pemerintah memberi kesempatan kepada KUD untuk membeli pupuk langsung dari Lini III dengan jumlah terbatas (5-10 ton) secara tunai. Pengamanan pertanaman diupayakan dengan pengadaan kredit sprayer. Permasalahan yang dihadapi antara lain masalah tunggakan kredit Bimas (http://repository.ipb.ac.id).
Program Supra Insus
Supra Insus adalah Suatu program rekayasa sosial dan ekonomi dalam penyelenggaraan intensifikasi pertanian yang dilaksanakan atas dasar kerjasama antar kelompok tani pelaksana Insus pada satu WKPP (Wilayah Kerja Penyuluhan) (http://repository.ipb.ac.id).
Supra Insus bertujuan untuk melestarikan swasembada pangan yang telah dicapai pada tahun 1984. Maka sejak tahun 1987 diterapkan program intensifikasi Supra Insus di bidang pertanian tanaman pangan untuk meningkatkan produktivitas tanaman khususnya padi, sekaligus meningkatkan pendapatan petani. Alat utama yang menjadi ciri Supra Insus adalah kerjasama, sedangkan alat struktural penyelenggara adalah organisasi Bimas. Untuk mengkoordinasikan kerja sama yang akan menentukan keerhasilan program Supra Insus ini diperlukan sistem pengelolaan yang tepat, baik pada tingkat aparatur pemerintah maupun tingkat kelembagaan petani (http://repository.ipb.ac.id).
Keberhasilan penyelenggaraan program intensifikasi Supra Insus sangat ditentukan oleh tiga unsur strategis, yaitu pengelolaan irigasi, pengelolaan penyuluhan dan pengelolaan kelompok tani. Dapat dikatakan bahwa semakin baik pengelolaan irigasi maka akan semakin mendorong keberhasilan program Intensifikasi Supra Insus, semakin baik kerja sama antar kelompok tani maka akan semakin baik pengadopsian program intensifikasi Supra Insus dan pengelolaan irigasi petani (http://repository.ipb.ac.id).
Pada pelaksanaan Supra Insus yang dimulai MT 1987 diterapkan 10 unsur teknologi yang disebut 10 Unsur Teknologi Supra Insus yaitu : (1) Pengaturan pola tanam, (2) Pengolahan Tanah yang sempurna, (3) Penggunaan benih yang bersertifikat/berlabel biru, (4) Pergiliran varietas, (5) Penerapan jarak tanam yang sesuai dengan buku teknis, (6) Pemupukan berimbang, (7) Tata guna air di tingkat usahatani, (8) Penggunaan pupuk pelengkap cair, (9) Pemakaian pestisida secara bijaksana dan pengendalian jasad pengganggu secara terpadu dan (10) Penanganan panen dan pascapanen (http://repository.ipb.ac.id).
Berdasarkan pengalaman-pengalaman tentang keberhasilan petani dan kemajuan teknologi baru yang dapat menghasilkan varietas-varietas unggul baru berpotensi produksi sangat tinggi serta diterapkannya kerjasama dalam dan antar kelompok tani, maka peluang peningkatan produksi pangan masih terbuka lebar (http://repository.ipb.ac.id).
Bertitik tolak dari gambaran potensi-potensi tersebut di atas, maka tantangan bagi program ini, perlu ditanggapi dengan suatu sistem pengelolaan usahatani yang menganut prinsip teknologi hemat lahan, konservasi dan bervawasan lingkungan serta kepentingan nasional. Supra Insus merupakan wujud nyata dari teknologi hemat lahan dan produktivitas tinggi. Dengan demikian perlu lebih dimantapkan lagi. Pemilihan pola tanam/pola usahatani perlu mendapat perhatian yang serius pula. Tindakan konservasi lahan harus melengkapi tindakan teknologi yang lain (http://repository.ipb.ac.id).
1.    Pengertian Revolusi Hijau
Revolusi Hijau merupakan usaha pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan. Mengubah dari pertanian tradisional menjadi pertanian yang menggunakan teknologi lebih maju. Diawali oleh Ford dan Rockefeller Foundation, yang mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi di Filipina (1960). Revolusi hijau menekankan pada serealia: padi, jagung, gandum, dan lain-lain. Hasil yang nyata adalah tercapainya swasembada (kecukupan penyediaan) sejumlah bahan pangan di beberapa negara yang sebelumnya selalu kekurangan persediaan pangan (pokok), seperti India, Bangladesh, Tiongkok, Vietnam, Thailand, serta Indonesia.
Istilah Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian, Gerakan Revolusi Hijau yang dijalankan di negara-negara berkembang dan Indonesia dijalankan sejak rejim Orde Baru berkuasa, Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur. Gerakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada beras, tetapi hanya mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984 – 1989 (http://istiqazzahrah.blogspot.com).
2.    Asas Revolusi Hijau
Tekanan pokok revolusi hijau adalah menaikkan produksi pangan. Sering dikatakan bahwa strategi revolusi hijau adalah satu-satunya yang ada untuk meningkatkan bekalan pangan (Shiva, 1993). Maka varietas unggul diciptakan yang berdaya tanggap besar terhadap masukan. Revolusi hijau dapat meningkatkan panen secara drastis, laju adopsi varietas unggul tinggi, pupuk anorganik digunakan sebanyak-banyaknya, hama dan penyakit diberantas dengan kimiawi dan insentif yang menarik berupa subsidi atau dukungan harga. Menurut Shiva (1993) revolusi hijau tidak didasarkan kemandirian akan tetapi ketergantungan, tidak didasarkan keanekaragaman tetapi kesergaman. Pertanian dikembangkan dari sudut pandang peningkatan dukungan sektor  publik, yaitu kredit, subsidi, dukungan harga dan penyediaan prasarana dan peningkatan masukan belian (purchased inputs) (http://istiqazzahrah.blogspot.com).
3.    Tahapan Revolusi Hijau
Revolusi Hijau Terjadi dalam beberapa tahap, yaitu :
1. Revolusi tahap pertama, terjadi antara tahun 1500-1800 ketika kebanyakan hasil petanian (gandum, padi, jagung dan kentang) disebar ke seluruh dunia.
2. Revolusi hijau tahap kedua, terjadi di Eropa dan Amerika Utara antar tahun 1850-1950 dan terutama di dasarkan penerapan hukum ilmiah terhadap produksi hasil petanian dan hewan melalui penggunaan pupuk, irigasi dan pemberantasan hama dn penyakit secara luas dan terkendali.
3. Revolusai tahap ketiga, terjadi di negara-negara maju sejak perang dunia II dan terutama melalui seleksi dan persilangan genetika atas varietas tenaman dan hewan unggul dan lebih resisten terhadap penyakit dan serangga.
4. Revolusi hijau tahap keempat, telah tersebar luas pada tahun-tahun ini. Tahap ini bukan hal yang baru, melainkan kombinasi dari revolusi hijau tahap kedua dan tahap ketiga, dan terutama ditujukan untuk negara-negara berkembang. Tahun 1967 varietas padi dan gandum jenis unggul dikembangkan di daerah-daearah tropis dan sub tropis, seperti negara India, Turki, Pakistan, Indonesia (http://istiqazzahrah.blogspot.com).
4.    Latar Belakang Lahirnya Revolusi Hijau Di Indonesia
Indonesia dikaruniai sumber daya alam yang sangat melimpah. Sejak dahulu kala dari laporan seorang China samapai masa penjajahan kolonial, sudah dikenal kesuburan tanahnya. Tidak terlalu salah memang. Kalau kemudian negri kekayaan alam yang melimpah ini mengalami krisis yang berkepanjangan, pastilah kesalahannya terletak pada pengolahannya.
Pada masa awal orde baru, pemerintah menjatuhkan pilihan pada pengembangan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Kelangkaan bahan pangan yang terjadi menjelang dan pasca jatuhnya pemerintahan presiden pertama RI, Soekarno membutuhkan pemecahan secepatnya. Untuk mendukung hal ini, dibangunlah saluran-saluran irigasi untuk pencetakan sawah-sawah baru. Program transmigrasi pun djalankan dengan mendasar dan pada pengembangan jaringan irigasi ini. Harapannya dengan tersedianya air yang cukup, akan tersedia lahan panen yang luas. Pendekatan ini dikenal dengan ekstensifikasi.
Dengan adanya revolusi bioteknologi maka ditemukan varietas-varietas unggul dengan sifat produksi per unit area tinggi, relatif lebih tahan kekeringan, tahan wereng, dan lain-lain. Dengan dukungan input pupuk buatan dan pestisida maka dikenal pendekatan intensifikasi, yaitu peningkatan produktivitas per unit area usaha. Upaya ini dibarengi dengan pembangunan pabrik-pabrik pupuk buatan. Baik ekstensifikasi maupun intensifikasi, keduanya mempresentasikan apa yang kemudian popular sebagai revolusi hijau dalam pengembangan dunia pertanian.
Revolusi hijau lahir di meksiko. Pakar genetika amerika Borlaugh ketika bekerja di pusat pengembangan gandum di Meksiko berhasil melakukan rekayasa varietas gandum. Varietas ini bersifat luar biasa: produktivitas tingggi, tahan hama dan penyakit, tahan rebah, dan resposif terhadap pemupukan. Keberhasilan ini mematahkan dua teorema yang kuat yaitu teori Malthus yang mengatakan bahwa makanan akan bertambah sesuai dengan deret hitung, sementara pertambahan jumlah manusia bertambah sesuai deret ukur yang mengakibatkan langkanya makanan dan mengakibatkan pemusnahan alami manusia. Penemuan Borlaugh ini dikenal dunia dengan istilah Revolusi Hijau, yaitu sebuah terobosan baru dalam menembus kebuntuan produksi pangan dan member harapan baru untuk mempersiapkan kecukupan pangan bagi umat manusia.
Di Indonesia sebelum 1963 belum dikenal intensifikasi pertanian, seperti bibit dengan varietas khusus, sistem tandur jajar, tanam serempak, apalagi pestisida. Saat itu jumlah penduduk Indonesia kurang dari 90 juta dengan ±10 juta luas lahan panen, dimana dari jumlah tersebut hanya 30% yang dapat dilayani irigasi tekhnis. Rakyat saat itu tidak terbiasa makan nasi, sehingga tidak ada desakan permintaan beras dari rakyat. Orde baru muncul dengan konsep baru : Revolusi hijau.
Di Indonesia, revolusi hijau di awali oleh para pakar budidaya pertanian yang mengembangkan budidaya padi dan menata keseragaman dan keserempakan penerapannya. Termasuk masalah bibit, pengairan, dan penangggulangan hama, dan sebagainya. Dari sini kemudian lahirlah wadah yang lebih kuat dari kegiatan revolusi hiijau di indonesia dengan dibentuknya bimbingan masal. Dalam bimbingan masal ini diterpakan secara konsisten budidaya panca usaha pertanian. Pengabdian besar-besaran ini dimotori oleh IPB, mengerahkan ribuan mahasiswa IPB dan mahasiswa pertanian di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Panca usaha tani berkembang menjadi sapta usaha tani, dan kemudian menjadi dasa usaha tani. Dari sini keluarlah konsep intensifikasi masal, intensifikasi umum, dan intensifikasi khusus (INSUS). Pada saat yang sama dilakukan tiga gerakan yang bersamaan: pembangunan industri pendukung, khususnya bibit, pupuk, pestisida, pengadaan pola kredit pertanian, dan pembentukan lembaga yang mengelola tata niaga beras, yakni BULOG.
5.    Perkembangan Konsep Revolusi Hijau Di Indonesia
Dalam kurun waktu yang relatif lama, yakni lebih kurang 20 tahun BIMAS atau revolusi hijau telah berhasil mengubah sikap petani, khususnya para petani sub sektor pangan, dari sikap anti tekhnologi ke sikap yang mau memanfaatkan tekhnologi pertanian yang modern. Misalnya pupuk kimia,      obat-obatan pelindung dan bibit padi unggul. Perubahan sikap petani tersebut, sangat berpengaruh terhadap kenaikan produktivitas subsektor pertanian pangan, sehingga Indonesia mampu mencapai swasembada pangan. Akan tetapi, meskipun revolusi hijau mampu mencapai tujuan makronya namun pada tingkat mikro revolusi hiijau tersebut telah menimbul masalah tersendiri. Salah satu masalah yang sangat penting adalah terjadinya uniformitas bibit padi di Indonesia. Yaitu bibit yang boleh ditanam adalah bibit padi unggul yang disediakan oleh pemerintah sementara bibit lokal yang banyak di tanam petani dilarang.
Uniformitas bibit tersebut mengakibatkan timbulnya kerentanan dalam tubuh subsektir pertanian pangan, yang muncul dalam dua bentuk. Pertama subsektor pertanian pangan rentan terhadap  berbagai hama meeskipun memiliki produktivitas yang tinggi, namun petani bibit ungggul tidak memiliki ketahanan hidup yang lama. Pada tahun 70-an, pangan Indonesia terserang hama wereng coklat dan mengancam Indonesia dengan bahaya kelaparan. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah harus sering mengadakan pergantian bibit padi yang diharapkan memiliki ketahanan yang lebihh lama.
Kedua, revolusi hijau membuat petani Indonesia menjadi bodoh. Banyak pengetahuan lokal yang menyangkut pertanian telah banyak dilupakan petani. Para petani lebih menggantungkan diri pada paket tekhnologi pertanian produk industri. Ketergantungan tersebut menimbulkan suatu kerentanan baru, yakni petani Indonesia menjadi objek permainan harga produk-produk tersebut. Hal ini dapat mempengaruhi proses produksi pangan. Apabila harga pupuk naik, maka petani terpaksa mengurangi pemakaian pupuk, sehingga produk menurun.
Gerakan-gerakan untuk mengurangi ketergantungan pada produk-produk tekhnologi pertanian modern memang telah muncul adalah di kalangan petani dengan cara menanam bibit padi lokal dan melakukan pemberantasan hama terpadu. Dengan menanam bibit padi lokal, maka petani dapat membangun lumbung padi desa mereka masing-masing, yang tidak berfunggsi sejak revolusi hijau. Meskipun meningkat, namun padi hasil revolusi hijau sulit disimpan dalam lumbung petani karena memiliki kandungan air yang tinggi. Dari segi ekonomi, menyimpan hasil panen juga tidak banyak berguna, karena harga padi pada musim panen dan paceklik tidak banyak berbeda. Pada masa paceklik, pemerintah melalui BULOG mengadakan operasi pasar sehingga di pasar tetap tersedia beras dalam jumlah yang memadai, sehingga harga beras stabil.
Revolusi hijau dilakukan di dataran rendah. Di kawasan ini, pemerintah menbangun berbagai prasarana untuk menunjang program swasembada pangan. Akibatnya terjadi kesenjangan antara kawasan dataran rendah dan kawasan dataran tinggi atau non padi. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap kawasan tersebut berakibat pada pelestarian infrastruktur penunjang revolusi hijau.      Dam-dam yang dibangun pemerintah berumur lebih pendek, cepat tergenang, endapan tanah yang terbawa oleh proses erosi yang berlangsung cepat.
Revolusi hijau atau BIMAS telah mampu mendongkrak peroduktivitas subsektor pertanian, pangan sehingga untuk kurun waktu tertentu, Indonesia telah mampu mencapai swasembada pangan khususnya beras. Akan tetapi revolusi hijau juga menyebabkan sub sektor tanaman pangan rentan terhadap berbagai hama, kesenjangan antar daerah dan konsentrasi pembangunan pertanian juga menimbulkan keterbelakang pembangunan sektor hortikultura (Soetrisno, 2002).

Selasa, 17 Maret 2015

Definisi Manajemen Agrinisnis Tanaman Perkebunan

A. Pengertian Manajemen (Definition of Management
Kata Manajemen berasal dari bahasa Prancis kuno ménagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Manajemen belum memiliki definisi yang mapan dan diterima secara universal. Kata manajemen mungkin berasal dari bahasa Italia (1561) maneggiare yang berarti “mengendalikan,” terutamanya “mengendalikan kuda” yang berasal dari bahasa latin manus yang berati “tangan”. Kata ini mendapat pengaruh dari bahasa Perancis manège yang berarti “kepemilikan kuda” (yang berasal dari Bahasa Inggris yang berarti seni mengendalikan kuda), dimana istilah Inggris ini juga berasal dari bahasa Italia. Bahasa Prancis lalu mengadopsi kata ini dari bahasa Inggris menjadi ménagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur.
  
Beberapa Definisi Manajemen Menurut Para Ahli :
1.      Ricky W. Griffin mendefinisikan manajemen sebagai sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran (goals) secara efektif dan efesien. Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan jadwal.

2.      Menurut G.R. Terry manajemen adalah suatu proses atau kerangka kerja, yang melibatkan bimbingan atau pengarahan suatu kelompok orang-orang ke arah tujuan-tujuan organisasional atau maksud-maksud yang nyata.

3.      Menurut Mary Parker Follet manajemen adalah suatu seni untuk melaksanakan suatu pekerjaan melalui orang lain. Definisi dari Mary ini mengandung perhatian pada kenyataan bahwa para manajer mencapai suatu tujuan organisasi dengan cara mengatur orang-orang lain untuk melaksanakan apa saja yang pelu dalam pekerjaan itu, bukan dengan cara melaksanakan pekerjaan itu oleh dirinya sendiri.

4.      Menurut James A.F.Stoner, manajemen adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian upaya anggota organisasi dan menggunakan semua sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
  
Beberapa Pendapat lain menjelaskan :

1.      Manajemen adalah “keahlian untuk menggerakan orang untuk melakukan suatu pekerjaan” (the art of getting thing done through people) (Lawrence A. Appley, American Management Association).

2.      Manajemen adalah “seni dan ilmu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian dan pengontrolan dari pada “human and natural resources” untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan terlebih dahulu”.(Oey Liang Gie, Guru besar manajemen UI)

3.      Manajemen sebagai “proses yang khas yang terdiri dari tindakan-tindakan : perencanaan, pengorganisasian, menggerkan dan pengawasan yang dialkukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia serta sumber-sumber lain”. (George R. Terry, Ph.D).

Berdasarkan pendapat dan pengertian manajemen menurut para ahli saya mendefinisikan manajemen sebagai “ Suatu proses atau kerangka kerja yang melibatkan orang lain dalam melaksanakan suatu pekerjaan yang terdiri dari tindakan-tindakan seperti : perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan pengevaluasian yang dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya”. 

B. Pengertian Agribisnis (Definition of Agribusiness)
Agribisnis berasal dari kata Agribusiness, di mana Agri artinya pertanian dan Business artinya usaha atau kegiatan yang berorientasi profit. Jadi secara sederhana Agribisnis (agribusiness) didefinisikan sebagai usaha atau kegiatan pertanian dan terkait dengan pertanian yang berorientasi profit.

Jika didefinisikan secara lengkap agribisnis adalah kegiatan yang berhubungan dengan penanganan komoditi pertanian dalam arti luas, yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan masukan dan keluaran produksi (agroindustri), pemasaran masukan-keluaran pertanian dan kelembagaan penunjang kegiatan. Yang dimaksud dengan berhubungan adalah kegiatan usaha yang menunjang kegiatan pertanian dan kegiatan usaha yang ditunjang oleh kegiatan pertanian (Davis and Golberg, 1957; Downey and Erickson, 1987; Saragih, 1998).

Soekartawi (1993) mengemukakan bahwa apabila mata rantai kegiatan agribisnis dipandang dalam suatu konsep sistem, maka mata rantai kegiatan tersebut dapat dipilah-pilah menjadi empat subsistem yaitu: (1) subsistem produksi (on-farm), (2) subsistem pengolahan (agroindustri hulu dan hilir) (off-farm), (3) subsistem pemasaran/perdagangan (off-fram), dan (4) subsistem lembaga penunjang (off-farm). Keempat subsistem ini mempunyai kaitan yang erat, sehingga gangguan pada salah satu subsistem atau kegiatan akan berpengaruh terhadap subsistem atau kelancaran kegiatan dalam bisnis.
Beberapa Definisi Agribisnis Menurut Para Ahli

1. Menurut Sjarkowi dan Sufri (2004) Agribisnis adalah setiap usaha yang berkaitan dengan kegiatan produksi pertanian, yang meliputi pengusahaan input pertanian dan atau pengusahaan produksi itu sendiri atau pun juga pengusahaan pengelolaan hasil pertanian.

2.  Menurut Arsyad dkk. Agribisnis adalah kesatuan kegiatan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari matarantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran produk-produk yang ada hubungannya dengan pertanian dalam arti luas.

3. Menurut Wibowo dkk, (1994) Pengertian agribisnis mengacu kepada semua aktivitas mulai dari pengadaan, prosesing, penyaluran sampai pada pemasaran produk yang dihasilkan oleh suatu usaha tani atau agroindustri yang saling terkait satu sama lain.

4.  Menurut Austin. Agribisnis adalah kesatuan kegiatan usaha yang meliputi kegiatan usahatani, pengolahan bahan makanan, usaha sarana dan prasarana produksi pertanian, transportasi, perdagangan, kestabilan pangan dan kegiatan-kegiatan lainnya termasuk distribusi bahan pangan dan serat-seratan kepada konsumen.

5.  Menurut Drillon. Agribisnis adalah sejumlah total dari seluruh kegiatan yang menyangkut manufaktur dan distribusi dari sarana produksi pertanian, kegiatan yang dilakukan usahatani, serta penyimpanan, pengolahan dan distribusi dari produk pertanian dan produk-produk lain yang dihasilkan dari produk pertanian.

6. Menurut Cramer and Jensen. Agribisnis adalah suatu kegiatan yang sangat kompleks, meliputi : industri pertanian, industri pemasaran hasil pertanian dan hasil olahan produk pertanian, industri manufaktur dan distribusi bagi bahan pangan dan serat-seratan kepada pengguna/konsumen.
Berdasarkan beberapa definisi agribisnis menurut para ahli saya dapat mengutarakan definisi agribisnis sebagai “Kesatuan kegiatan usaha yang berkaitan dengan produksi produk pertanian yang meliputi pengadaan dan penyaluran input dan sarana produksi, tindakan budidaya, pengolahan hasil, pemasaran produk, dan kegiatan-kegiatan penunjang lainnya yang bisa menghasilkan nilai tambah bagi produk pertanian tersebut”.

C. Defnisi Tanaman (Definition of Plant)
Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 2004 tentang perkebunan, yang dimaksud dengan Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan/atau tanaman tahunan yang karena jenis dan tujuan pengelolaannya ditetapkan sebagai tanaman perkebunan.
Menurut saya definisi dari tanaman adalah “Semua jenis tumbuh-tumbuhan yang sudah dibudidayakan karena berbagai tujuan tertentu seperti : tanaman perkebunan, tanaman obat-obatan, tanaman hias, dan lain-lain”.

D. Definisi Perkebunan
Dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2004 tentang perkebunan, yang dimaksud dengan Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.

Menurut saya definisi dari perkebunan adalah “Semua kegiatan/tindakan yang dilakukan untuk mengusahakan suatu tanaman tertentu pada suatu lahan/media tumbuh dengan kondisi lingkungan yang sesuai kemudian mengolah dan memasarkan produk yang dihasilkan dengan menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan pengelolaan yang baik demi mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha dan masyarakat”.

Berdasarkan beberapa definisi yang telah diuraikan diatas saya mendefinisikan Manajemen Agribisnis Tanaman Perkebunan sebagai “Suatu proses/tindakan yang menerapkan fungsi-fungsi manajemen yang meliputi : perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan pengevaluasian dalam pengelolaan kegiatan produksi tanaman perkebunan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya”.