Pendahuluan
Tujuan dari setiap
tahap pembangunan adalah meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh
rakyat dimana meletakkan landasan yang kuat untuk pembangunan tahap berikutnya.
Visi pembangunan pertanian yaitu pertanian modern, tangguh dan efisien dengan berkecukupan
pangan. Misinya adalah keterpaduan pembinaan dan pelayanan, partisipasi aktif
petani, optimalisasi sumberdaya domestik, pengelolaan pangan/agroindustri, sistem
distribusi dan pemasaran, dan penganekaragaman konsumsi (http://repository.unila.ac.id).
Pembangunan pertanian
di Indonesia diawali dengan suatu program yang dinamakan Rencana Kasimo pada
tahun 1945 yang kemudian dikembangkan menjadi Rencana Kesejahteraan Istimewa
(1949). Sistem penyuluhan pertanian di Indonesia terus berkembang yang kemudian
lahirlah program BIMAS (Bimbingan Massal) pada tahun 1964. Tugas utama Bimas
adalah mengupayakan agar Indonesia mampu berswasembada beras. Pada periode 1967-1973,
Bimas disempurnakan, bimbingan kepada petani diperluas bukan hanya petani yang
menggunakan kredit usahatani, namun juga bimbingan dilaksanakan kepada petani
yang telah mapan yang tidak memerlukan fasilitas kredit, pembinaannya
menggunakan istilah Intensifikasi Massal (INMAS). Pada periode 1973-1987, diintroduksikan pembinaan dengan menggunakan
pola Intensifikasi Umum (INMUM) dan Intensifikasi Khusus (INSUS). Tahun 1984,
program Bimas telah menghantarkan
Indonesia mampu berswasembada beras dan pada tahun-tahun berikutnya Indonesia
mampu mengekspor beras ke beberapa Negara (http://repository.unila.ac.id).
Untuk menyesuaikan
dengan akselerasi dinamika pembangunan pertanian akibat pertambahan penduduk
yang pesat, maka pada tahun 1987/1988 dintroduksikan SUPRA INSUS yang
mengandung makna pembinaan (rekayasa teknologi, sosial dan ekonomi), dan pola
Kredit Usaha Tani (KUT), sebagai pengganti pola Kredit Bimas. Untuk menyongsong
era globalisasi dan perdagangan bebas pada millenium ke III, program Bimas
berkembang menjadi dua program pokok yaitu program Bimas Nasional dan program
Bimas Wilayah (spesifikasi). Pada periode 1998-2002, orientasi pembinaan Bimas
diarahkan pada pengembangan agribisnis sehingga dilahirkan rekayasa
Intesifikasi Berwawasan Agribisnis (INBIS). Bimas terus disempurnakan menjadi
Program Bimas Intensifikasi Pertanian. Pada tahun 2005 hingga sekarang,
pemerintah mencanangkan program Revitalisasi Penyuluhan Pertanian untuk
mewujudkan pertanian tangguh untuk pemantapan ketahanan pangan, peningkatan
nilai tambah dan daya saing produk pertanian serta peningkatan kesejahteraan petani
(http://repository.unila.ac.id).
Pengertian
Bimas dan Inmas
Bimas (Bimbingan
Massal), adalah suatu kegiatan penyuluhan secara massal dengan cara
intensifikasi dan ekstensifikasi yang bertujuan untuk meningkatkan produksi
pertanian dengan cara menetapkan pancausaha tani, yaitu penggunaan bibit
unggul, ketetapan penggunaan pupuk, cara bercocok tanam yang baik, penggunaan
obat pemberantas hama dan perbaikan sistem pengairan. Penyuluhan tersebut
merupakan bimbingan bersama dari berbagai instansi dan lembaga pemerintah/
swasta ke arah swadaya masyarakat petani yang sekaligus ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat pada umumnya (Suyatno, 2007).
Inmas (Instruksi
Massal) adalah Suatu Program Intensifikasi yang dilaksanakam melalui pemberian program
kredit usaha bagi petani sebagai langkah
lanjutan bagi para peserta Bimas (http://army-as.web.id).
Sejarah
dan Perkembangan Bimas dan Inmas Di Indonesia
Pembangunan pertanian
di Indonesia yang selama ini telah berjalan ternyata tidak serta merta berjalan
sebagaimana mestinya. Karena secara teoritis melalui industrialisasi sektor
pertanian akan menciut dimana tenaga kerja akan terserap oleh kota - kota besar
namun demikian sektor pertanian yang menciut tetap menghasilkan pangan yang
cukup dengan kualitas yang tinggi (Wisnusaputra,2006).
Cliffort Geertz (1963)
dalam tulisannya yang berjudul involusi pertanian (agricultural involution) menggungkapkan bahwa sifat masyarakat
petani Indonesia di pedesaan khusunya daerah jawa menjadi statis, patas
semangat dan penjlimetan ke dalam, dengan kemampuan peningkatan produksi
sekedar sama (atau lebih kecil) dari laju kenaikan penduduk. Jika dikaitkan
dengan seluruh masyarakat Indonesia (baik di desa maupun di kota jawa maupun
luar jawa) adalah jalinan kemiskinan bersama, yang menyulitkan perekonimian
Indonesia kearah take off, Geertz
mengemukakn bahwa terdapat celah memungkinkan masyarakat petani melakukan pola
adopsi baru dari mekanisme kekalahan diri, melalui petani lapisan atas yang
inovatif, yang secara langsung dapat melibatkan petani lapisan bawah (http://turindraatp.blogspot.com).
Dengan pemikiran
demikian, maka pada tahun 1965 (masa Orde Baru) terjadi adaptasi yang baru dan
ini merupakan tonggak berdirinya BIMAS (Bimbingan Massal) dan INMAS (Instruksi Massal) di Indonesia.
Dengan hasil 2,5 % pertahun menjadi 6% pertahun dalam kurun waktu hanya 6 tahun
yaitu pada tahun 1965-1971. Di tahun 1973 areal lahan intensifikasi pertanian
mencapai 4,2 juta Ha (56% dari areal persawahan di Indonesia) atau 73% areal
pesawahan di pulau jawa. Kondisi ini berdampak kepada penentu kebijakan pada
saat itu Presiden Soeharto di mana pada tanggal 10 April 1972 memberi
peringatan kepada Departemen Pertanian agar target pada repelita I sebanyak
15,7 juta ton di tinjau kembali. Presiden Soeharto memperingatkan agar penigkatan
produksi beras tidak menimbulkan over
supply (kelebihan stok). Sehingga kejadian ini segera di tindak lanjuti
oleh Departem Pertanian yang pada akhirnya tanggal 4 mei 1972 target produksi pertanian
(dalam hal ini beras) di pandang perlu untuk dikurangi. Sehingga puncak dari
program kejayaan BIMAS yang berkelanjutan sejak tahun 1965 menimbulkan efek
yang luar biasa dimana pada tahun 1984 Bangsa Indonesia mengalami swasembada
pangan (khusunya beras) dan mendapat pengakuan dari dunia internasional melalui
FAO. Hingga tahun 1993 selama 25 tahun kenaikan produksi beras di Indonesia
mencapai 240% hingga menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa pengekspor
beras dari sebelumnya bangsa pengimpor beras terbesar (http://turindraatp.blogspot.com).
Roling dan Van de
Fliert (1994) menguraikan bahwa program BIMAS yang dahulu pernah berjalan hanya
menekankan pada peningkatkan produksi padi tidak disertai dengan peningkatan
kapasitas analisis petani dan penggunaan pupuk dan pestisida. Dampak dari
program mengakibatkan terjadinya penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan,
mengakibatkan pencemaran air, lingkungan, dan perusakan keseimbangan hara
tanah. Benih padi unggul yang dianjurkan memiliki kerentanan terhadap hama
wereng coklat jika dibandingkan dengan beberapa varietas lokal yang sudah
ditanam oleh petani secara turun-temurun. Gencarnya anjuran pelaksanaan BIMAS
juga menyebabkan varietas-varietas lokal yang seharusnya menjadi sumber plasma
nutfah perlahan-lahan punah. Serangan wereng mengakibatkan sebagian besar
petani peserta program BIMAS gagal panen dan petani menjadi tidak mampu
membayar hutang kredit pupuk dan pestisida yang terlanjur dibeli sebagai syarat
yang harus dipenuhi untuk menanam benih varietas unggul (http://repository.ipb.ac.id).
Program
Insus (Instruksi Khusus)
Insus adalah
Pelaksanaan program Bimas oleh petani sehamparan secara berkelompok guna memanfaatkan
potensi lahan sawah, teknologi, daya dan dana secara optimal. Kegiatan kelompok
tani secara keseluruhan diprakarsai oleh kelompok inti dalam merumuskan rencana
kerja, mencari dan menyebarkan informasi, memimpin dan mengawasi kegiatan anggota,
melakukan usaha-usaha dan hubungan kerjasama anggota, melakukan usaha-usaha dan
hubungan kerjasama dengan pihak luar kelompok serta menghadiri forum-forum komunikasi
dengan para pemuka masyarakat di desanya (http://repository.ipb.ac.id).
Untuk mensukseskan program
ini ditetapkan penyaluran pupuk melalui KUD. Dalam rangka pembinaan KUD, pemerintah
memberi kesempatan kepada KUD untuk membeli pupuk langsung dari Lini III dengan
jumlah terbatas (5-10 ton) secara tunai. Pengamanan pertanaman diupayakan
dengan pengadaan kredit sprayer. Permasalahan yang dihadapi antara lain masalah
tunggakan kredit Bimas (http://repository.ipb.ac.id).
Program
Supra Insus
Supra Insus adalah
Suatu program rekayasa sosial dan ekonomi dalam penyelenggaraan intensifikasi
pertanian yang dilaksanakan atas dasar kerjasama antar kelompok tani pelaksana
Insus pada satu WKPP (Wilayah Kerja Penyuluhan) (http://repository.ipb.ac.id).
Supra Insus bertujuan
untuk melestarikan swasembada pangan yang telah dicapai pada tahun 1984. Maka
sejak tahun 1987 diterapkan program intensifikasi Supra Insus di bidang
pertanian tanaman pangan untuk meningkatkan produktivitas tanaman khususnya
padi, sekaligus meningkatkan pendapatan petani. Alat utama yang menjadi ciri
Supra Insus adalah kerjasama, sedangkan alat struktural penyelenggara adalah
organisasi Bimas. Untuk mengkoordinasikan kerja sama yang akan menentukan
keerhasilan program Supra Insus ini diperlukan sistem pengelolaan yang tepat,
baik pada tingkat aparatur pemerintah maupun tingkat kelembagaan petani (http://repository.ipb.ac.id).
Keberhasilan
penyelenggaraan program intensifikasi Supra Insus sangat ditentukan oleh tiga
unsur strategis, yaitu pengelolaan irigasi, pengelolaan penyuluhan dan pengelolaan
kelompok tani. Dapat dikatakan bahwa semakin baik pengelolaan irigasi maka akan
semakin mendorong keberhasilan program Intensifikasi Supra Insus, semakin baik
kerja sama antar kelompok tani maka akan semakin baik pengadopsian program
intensifikasi Supra Insus dan pengelolaan irigasi petani (http://repository.ipb.ac.id).
Pada pelaksanaan Supra
Insus yang dimulai MT 1987 diterapkan 10 unsur teknologi yang disebut 10 Unsur Teknologi
Supra Insus yaitu : (1) Pengaturan pola tanam, (2) Pengolahan Tanah yang
sempurna, (3) Penggunaan benih yang bersertifikat/berlabel biru, (4) Pergiliran
varietas, (5) Penerapan jarak tanam yang sesuai dengan buku teknis, (6) Pemupukan
berimbang, (7) Tata guna air di tingkat usahatani, (8) Penggunaan pupuk
pelengkap cair, (9) Pemakaian pestisida secara bijaksana dan pengendalian jasad
pengganggu secara terpadu dan (10) Penanganan panen dan pascapanen (http://repository.ipb.ac.id).
Berdasarkan
pengalaman-pengalaman tentang keberhasilan petani dan kemajuan teknologi baru
yang dapat menghasilkan varietas-varietas unggul baru berpotensi produksi
sangat tinggi serta diterapkannya kerjasama dalam dan antar kelompok tani, maka
peluang peningkatan produksi pangan masih terbuka lebar (http://repository.ipb.ac.id).
Bertitik tolak dari
gambaran potensi-potensi tersebut di atas, maka tantangan bagi program ini,
perlu ditanggapi dengan suatu sistem pengelolaan usahatani yang menganut prinsip
teknologi hemat lahan, konservasi dan bervawasan lingkungan serta kepentingan
nasional. Supra Insus merupakan wujud nyata dari teknologi hemat lahan dan produktivitas
tinggi. Dengan demikian perlu lebih dimantapkan lagi. Pemilihan pola tanam/pola
usahatani perlu mendapat perhatian yang serius pula. Tindakan konservasi lahan
harus melengkapi tindakan teknologi yang lain (http://repository.ipb.ac.id).
1.
Pengertian
Revolusi Hijau
Revolusi Hijau
merupakan usaha pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi
pangan. Mengubah dari pertanian tradisional menjadi pertanian yang menggunakan
teknologi lebih maju. Diawali oleh Ford dan Rockefeller Foundation, yang
mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi di Filipina (1960). Revolusi
hijau menekankan pada serealia: padi, jagung, gandum, dan lain-lain. Hasil yang
nyata adalah tercapainya swasembada (kecukupan penyediaan) sejumlah bahan
pangan di beberapa negara yang sebelumnya selalu kekurangan persediaan pangan
(pokok), seperti India, Bangladesh, Tiongkok, Vietnam, Thailand, serta
Indonesia.
Istilah Revolusi Hijau
adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan
fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian, Gerakan Revolusi
Hijau yang dijalankan di negara-negara berkembang dan Indonesia dijalankan
sejak rejim Orde Baru berkuasa, Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal
sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk
meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut
dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau
dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen
pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani,
penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan
kredit dan infrastruktur. Gerakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada
swasembada beras, tetapi hanya mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun
1984 – 1989 (http://istiqazzahrah.blogspot.com).
2.
Asas
Revolusi Hijau
Tekanan pokok revolusi
hijau adalah menaikkan produksi pangan. Sering dikatakan bahwa strategi
revolusi hijau adalah satu-satunya yang ada untuk meningkatkan bekalan pangan
(Shiva, 1993). Maka varietas unggul diciptakan yang berdaya tanggap besar
terhadap masukan. Revolusi hijau dapat meningkatkan panen secara drastis, laju
adopsi varietas unggul tinggi, pupuk anorganik digunakan sebanyak-banyaknya,
hama dan penyakit diberantas dengan kimiawi dan insentif yang menarik berupa
subsidi atau dukungan harga. Menurut Shiva (1993) revolusi hijau tidak
didasarkan kemandirian akan tetapi ketergantungan, tidak didasarkan
keanekaragaman tetapi kesergaman. Pertanian dikembangkan dari sudut pandang
peningkatan dukungan sektor publik,
yaitu kredit, subsidi, dukungan harga dan penyediaan prasarana dan peningkatan
masukan belian (purchased inputs) (http://istiqazzahrah.blogspot.com).
3.
Tahapan
Revolusi Hijau
Revolusi Hijau Terjadi
dalam beberapa tahap, yaitu :
1. Revolusi tahap pertama, terjadi
antara tahun 1500-1800 ketika kebanyakan hasil petanian (gandum, padi, jagung
dan kentang) disebar ke seluruh dunia.
2. Revolusi hijau tahap kedua, terjadi
di Eropa dan Amerika Utara antar tahun 1850-1950 dan terutama di dasarkan
penerapan hukum ilmiah terhadap produksi hasil petanian dan hewan melalui
penggunaan pupuk, irigasi dan pemberantasan hama dn penyakit secara luas dan
terkendali.
3. Revolusai tahap ketiga, terjadi di
negara-negara maju sejak perang dunia II dan terutama melalui seleksi dan
persilangan genetika atas varietas tenaman dan hewan unggul dan lebih resisten
terhadap penyakit dan serangga.
4. Revolusi hijau tahap keempat, telah
tersebar luas pada tahun-tahun ini. Tahap ini bukan hal yang baru, melainkan
kombinasi dari revolusi hijau tahap kedua dan tahap ketiga, dan terutama
ditujukan untuk negara-negara berkembang. Tahun 1967 varietas padi dan gandum
jenis unggul dikembangkan di daerah-daearah tropis dan sub tropis, seperti
negara India, Turki, Pakistan, Indonesia (http://istiqazzahrah.blogspot.com).
4.
Latar
Belakang Lahirnya Revolusi Hijau Di Indonesia
Indonesia dikaruniai
sumber daya alam yang sangat melimpah. Sejak dahulu kala dari laporan seorang
China samapai masa penjajahan kolonial, sudah dikenal kesuburan tanahnya. Tidak
terlalu salah memang. Kalau kemudian negri kekayaan alam yang melimpah ini
mengalami krisis yang berkepanjangan, pastilah kesalahannya terletak pada
pengolahannya.
Pada masa awal orde
baru, pemerintah menjatuhkan pilihan pada pengembangan pertanian untuk memenuhi
kebutuhan pangan dalam negeri. Kelangkaan bahan pangan yang terjadi menjelang
dan pasca jatuhnya pemerintahan presiden pertama RI, Soekarno membutuhkan
pemecahan secepatnya. Untuk mendukung hal ini, dibangunlah saluran-saluran
irigasi untuk pencetakan sawah-sawah baru. Program transmigrasi pun djalankan
dengan mendasar dan pada pengembangan jaringan irigasi ini. Harapannya dengan
tersedianya air yang cukup, akan tersedia lahan panen yang luas. Pendekatan ini
dikenal dengan ekstensifikasi.
Dengan adanya revolusi
bioteknologi maka ditemukan varietas-varietas unggul dengan sifat produksi per
unit area tinggi, relatif lebih tahan kekeringan, tahan wereng, dan lain-lain.
Dengan dukungan input pupuk buatan dan pestisida maka dikenal pendekatan
intensifikasi, yaitu peningkatan produktivitas per unit area usaha. Upaya ini
dibarengi dengan pembangunan pabrik-pabrik pupuk buatan. Baik ekstensifikasi
maupun intensifikasi, keduanya mempresentasikan apa yang kemudian popular
sebagai revolusi hijau dalam pengembangan dunia pertanian.
Revolusi hijau lahir di
meksiko. Pakar genetika amerika Borlaugh ketika bekerja di pusat pengembangan
gandum di Meksiko berhasil melakukan rekayasa varietas gandum. Varietas ini
bersifat luar biasa: produktivitas tingggi, tahan hama dan penyakit, tahan
rebah, dan resposif terhadap pemupukan. Keberhasilan ini mematahkan dua teorema
yang kuat yaitu teori Malthus yang mengatakan bahwa makanan akan bertambah
sesuai dengan deret hitung, sementara pertambahan jumlah manusia bertambah
sesuai deret ukur yang mengakibatkan langkanya makanan dan mengakibatkan
pemusnahan alami manusia. Penemuan Borlaugh ini dikenal dunia dengan istilah
Revolusi Hijau, yaitu sebuah terobosan baru dalam menembus kebuntuan produksi
pangan dan member harapan baru untuk mempersiapkan kecukupan pangan bagi umat
manusia.
Di Indonesia sebelum
1963 belum dikenal intensifikasi pertanian, seperti bibit dengan varietas
khusus, sistem tandur jajar, tanam serempak, apalagi pestisida. Saat itu jumlah
penduduk Indonesia kurang dari 90 juta dengan ±10 juta luas lahan panen, dimana
dari jumlah tersebut hanya 30% yang dapat dilayani irigasi tekhnis. Rakyat saat
itu tidak terbiasa makan nasi, sehingga tidak ada desakan permintaan beras dari
rakyat. Orde baru muncul dengan konsep baru : Revolusi hijau.
Di Indonesia, revolusi
hijau di awali oleh para pakar budidaya pertanian yang mengembangkan budidaya
padi dan menata keseragaman dan keserempakan penerapannya. Termasuk masalah
bibit, pengairan, dan penangggulangan hama, dan sebagainya. Dari sini kemudian
lahirlah wadah yang lebih kuat dari kegiatan revolusi hiijau di indonesia
dengan dibentuknya bimbingan masal. Dalam bimbingan masal ini diterpakan secara
konsisten budidaya panca usaha pertanian. Pengabdian besar-besaran ini dimotori
oleh IPB, mengerahkan ribuan mahasiswa IPB dan mahasiswa pertanian di berbagai
perguruan tinggi di Indonesia.
Panca usaha tani
berkembang menjadi sapta usaha tani, dan kemudian menjadi dasa usaha tani. Dari
sini keluarlah konsep intensifikasi masal, intensifikasi umum, dan
intensifikasi khusus (INSUS). Pada saat yang sama dilakukan tiga gerakan yang
bersamaan: pembangunan industri pendukung, khususnya bibit, pupuk, pestisida,
pengadaan pola kredit pertanian, dan pembentukan lembaga yang mengelola tata
niaga beras, yakni BULOG.
5.
Perkembangan
Konsep Revolusi Hijau Di Indonesia
Dalam kurun waktu yang
relatif lama, yakni lebih kurang 20 tahun BIMAS atau revolusi hijau telah
berhasil mengubah sikap petani, khususnya para petani sub sektor pangan, dari
sikap anti tekhnologi ke sikap yang mau memanfaatkan tekhnologi pertanian yang
modern. Misalnya pupuk kimia, obat-obatan
pelindung dan bibit padi unggul. Perubahan sikap petani tersebut, sangat
berpengaruh terhadap kenaikan produktivitas subsektor pertanian pangan,
sehingga Indonesia mampu mencapai swasembada pangan. Akan tetapi, meskipun
revolusi hijau mampu mencapai tujuan makronya namun pada tingkat mikro revolusi
hiijau tersebut telah menimbul masalah tersendiri. Salah satu masalah yang
sangat penting adalah terjadinya uniformitas bibit padi di Indonesia. Yaitu
bibit yang boleh ditanam adalah bibit padi unggul yang disediakan oleh
pemerintah sementara bibit lokal yang banyak di tanam petani dilarang.
Uniformitas bibit
tersebut mengakibatkan timbulnya kerentanan dalam tubuh subsektir pertanian
pangan, yang muncul dalam dua bentuk. Pertama subsektor pertanian pangan rentan
terhadap berbagai hama meeskipun
memiliki produktivitas yang tinggi, namun petani bibit ungggul tidak memiliki
ketahanan hidup yang lama. Pada tahun 70-an, pangan Indonesia terserang hama
wereng coklat dan mengancam Indonesia dengan bahaya kelaparan. Untuk mengatasi
hal tersebut pemerintah harus sering mengadakan pergantian bibit padi yang
diharapkan memiliki ketahanan yang lebihh lama.
Kedua, revolusi hijau
membuat petani Indonesia menjadi bodoh. Banyak pengetahuan lokal yang
menyangkut pertanian telah banyak dilupakan petani. Para petani lebih
menggantungkan diri pada paket tekhnologi pertanian produk industri. Ketergantungan
tersebut menimbulkan suatu kerentanan baru, yakni petani Indonesia menjadi
objek permainan harga produk-produk tersebut. Hal ini dapat mempengaruhi proses
produksi pangan. Apabila harga pupuk naik, maka petani terpaksa mengurangi
pemakaian pupuk, sehingga produk menurun.
Gerakan-gerakan untuk
mengurangi ketergantungan pada produk-produk tekhnologi pertanian modern memang
telah muncul adalah di kalangan petani dengan cara menanam bibit padi lokal dan
melakukan pemberantasan hama terpadu. Dengan menanam bibit padi lokal, maka
petani dapat membangun lumbung padi desa mereka masing-masing, yang tidak
berfunggsi sejak revolusi hijau. Meskipun meningkat, namun padi hasil revolusi
hijau sulit disimpan dalam lumbung petani karena memiliki kandungan air yang
tinggi. Dari segi ekonomi, menyimpan hasil panen juga tidak banyak berguna,
karena harga padi pada musim panen dan paceklik tidak banyak berbeda. Pada masa
paceklik, pemerintah melalui BULOG mengadakan operasi pasar sehingga di pasar
tetap tersedia beras dalam jumlah yang memadai, sehingga harga beras stabil.
Revolusi hijau dilakukan
di dataran rendah. Di kawasan ini, pemerintah menbangun berbagai prasarana
untuk menunjang program swasembada pangan. Akibatnya terjadi kesenjangan antara
kawasan dataran rendah dan kawasan dataran tinggi atau non padi. Kurangnya
perhatian pemerintah terhadap kawasan tersebut berakibat pada pelestarian
infrastruktur penunjang revolusi hijau. Dam-dam yang dibangun pemerintah berumur
lebih pendek, cepat tergenang, endapan tanah yang terbawa oleh proses erosi
yang berlangsung cepat.
Revolusi hijau atau
BIMAS telah mampu mendongkrak peroduktivitas subsektor pertanian, pangan
sehingga untuk kurun waktu tertentu, Indonesia telah mampu mencapai swasembada
pangan khususnya beras. Akan tetapi revolusi hijau juga menyebabkan sub sektor
tanaman pangan rentan terhadap berbagai hama, kesenjangan antar daerah dan
konsentrasi pembangunan pertanian juga menimbulkan keterbelakang pembangunan
sektor hortikultura (Soetrisno, 2002).