Pendahuluan
Dalam perekonomian Indonesia sektor pertanian secara
tradisional dikenal sebagai sektor penting karena berperan antara lain sebagai
sumber utama pangan, dan pertumbuhan ekonomi. Peranan sektor ini di Indonesia
masih dapat ditingkatkan lagi apabila dikelola dengan baik, mengingat semakin
langkanya atau menurunnya mutu sumberdaya alam. Ke masa depan sektor ini akan
terus menjadi sektor penting dalam upaya pengentasan kemiskinan, penciptaan
kesempatan kerja, peningkatan pendapatan nasional, dan penerimaan ekspor serta
berperan sebagai produsen bahan baku untuk penciptaan nilai tambah di sektor
industri dan jasa.
Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman perkebunan
yang mempunyai peran penting bagi subsektor perkebunan. Pengembangan kelapa
sawit antara lain memberi manfaat dalam peningkatan pendapatan petani dan
masyarakat (petani kelapa sawit dapat memiliki pendapatan sekitar Rp. 2 juta –
Rp. 6 juta per tahun), produksi yang menjadi bahan baku industri pengolahan
yang menciptakan nilai tambah di dalam negeri (produksi tahun 1998 sebesar 5,6
juta ton meningkat menjadi sekitar 10,7 juta ton pada tahun 2003) ekspor CPO
yang menghasilkan devisa (volume ekspor tahun 1998 sebesar 1,6 juta ton senilai
US$ 800 ribu dolar meningkat menjadi 5,7 juta ton senilai US$ 2,1 juta dolar
pada tahun 2003) dan menyediakan kesempatan kerja bagi lebih dari 2 juta tenaga
kerja di berbagai sub sistem. Selain itu tanaman kelapa sawit juga menjadi
sumber pangan dan gizi utama dalam menu penduduk negeri, sehingga kelangkaannya
di pasar domestik berpengaruh sangat nyata dalam perkembangan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat. Namun, pengembangan tanaman dan agribisnis kelapa
sawit akan dapat memberikan sebesar-besarnya manfaat di atas, apabila para
pelaku agribisnis kelapa sawit, perbankan, lembaga penelitian dan pengembangan
serta sarana dan prasarana ekonomi lainnya oleh berbagai instansi terkait
memberikan dukungan dan peran aktifnya.
Kelapa sawit juga merupakan sumber lemak nabati yang
populer karena produksi/pengolahan minyak kelapa sawit yang tinggi di
negara-negara Asia Tenggara, bahkan minyak kelapa sawit menjadi komoditas
pertanian utama dan unggulan di Indonesia, di samping minyak kelapa. Hal itu
disebabkan karena beberapa faktor, antara lain: 1) menjadi sumber pendapatan
bagi jutaan keluarga petani, 2) sumber devisa Negara, 3) mulai dari perkebunan,
industri pengolahan, sampai dengan pemasaran produknya menjadi primadona
penyedia lapangan kerja, 4) perkebunan dan industri pengolahan kelapa sawit
tersebut memacu pertumbuhan sentra-sentra ekonomi baru, 5) pendorong tumbuh dan
berkembangnya industri pengolahan hilir berbasis pengolahan CPO di Indonesia,
misalnya: mentega, kue/biskuit, gliserin, sabun, dan deterjen.
Produk Turunan Kelapa Sawit
Selain sebagai sumber
minyak goreng kelapa sawit, produk turunan kelapa sawit ternyata masih banyak
manfaatnya dan sangat prospektif untuk dapat lebih dikembangkan, antara lain:
1. Produk turunan CPO. Produk turunan CPO selain
minyak goreng kelapa sawit, dapat dihasilkan Margarine, shortening, Vanaspati (Vegetable ghee), Ice creams, Bakery Fats, Instans Noodle,
Sabun dan Detergent, Cocoa Butter Extender, Chocolate dan Coatings, Specialty Fats,
Dry Soap Mixes, Sugar Confectionary, Biskuit
Cream Fats, Filled Milk, Lubrication, Textiles Oils dan Bio Diesel. Khusus untuk biodiesel, permintaan
akan produk ini pada beberapa tahun mendatang akan semakin meningkat, terutama
dengan diterapkannya kebijaksanaan di beberapa negara Eropa dan Jepang untuk
menggunakan renewable energy.
2. Produk Turunan Minyak Inti Sawit. Dari produk
turunan minyak inti sawit dapat dihasilkan Shortening,
Cocoa Butter Substitute, Specialty Fats, Ice Cream, Coffee
Whitener/Cream, Sugar Confectionary,
Biscuit Cream Fats, Filled Mild, Imitation Cream, Sabun, Detergent,
Shampoo dan Kosmetik.
3. Produk Turunan Oleochemicals kelapa sawit. Dari
produk turunan minyak kelapa sawit dalam bentuk oleochemical dapat dihasilkan Methyl
Esters, Plastic, Textile Processing, Metal Processing, Lubricants,
Emulsifiers, Detergent, Glicerine, Cosmetic, Explosives, Pharmaceutical
Products dan Food Protective Coatings.
Dari gambaran tersebut
dapat disampaikan bahwa prospek kelapa sawit masih sangat luas, tidak saja untuk
pemenuhan kebutuhan minyak goreng kelapa sawit, tetapi juga untuk kebutuhan
produk-produk turunannya. Untuk lebih meningkatkan daya saing produk kelapa
sawit dan turunannya agar lebih mempunyai daya saing, keterpaduan penanganan
sejak dari kegiatan perencanaan, kegiatan on-farm,
off-farm, dukungan sarana dan
prasarana serta jasa-jasa penunjangnya sangat diperlukan.
Pola Pemasaran Produk Kelapa Sawit
Adapun Pola pemasaran
produk kelapa sawit di Indonesia adalah :
1. Pola pemasaran perkebunan rakyat
Kegiatan pemasaran
pada tingkat perkebunan rakyat ini dipengaruhi oleh keterbatasan lahan petani
yang berkisar antara 1-10 hektar. Produksi yang terbatas menyebabkan
penjualannya sulit dilakukan apabila langsung menjual ke processor/industri
pengolah. Oleh karena itu, para petani harus menjual TBS melalui pedagang
tingkat desa yang dekat dengan lokasi kebun atau melalui koperasi (KUD)
kemudian berlanjut ke pedagang besar hingga ke processor/industri pengolah.
2. Pola pemasaran perkebunan besar negara dan
swasta
Pemasaran produk
kelapa sawit dalam bentuk olahan minyak sawit mentah (CPO) dan minyak inti
sawit (PKO) pada perkebunan besar negara dilakukan secara bersama melalui
Kantor Pemasaran Bersama (KPB). Sedangkan untuk perkebunan besar swasta,
pemasaran produk kelapa sawit dilakukan oleh masing-masing perusahaan.
Penjualan langsung kepada eksportir ataupun industri dalam negeri.
Kelapa Sawit di Perdagangan Internasional
Indonesia adalah
negara net-exporter minyak sawit, tetapi dalam keadaan mendesak Indonesia juga
mengimpor minyak sawit. Negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia
adalah Eropa Barat, India, Pakistan, Cina, dan Jepang. Produk yang diekspor
adalah minyak olahan tahap awal seperti RBD palm oil, CPO, dan beberapa produk
oleokimia. Secara umum, ekspor minyak sawit Indonesia 1988-2000 meningkat
dengan laju 13,5%/tahun. Impor minyak sawit umumnya dalam bentuk olein dari
Malaysia. Impor ini biasanya terjadi pada waktu harga dunia tinggi dimana
terjadi rush export dari Indonesia. Dalam keadaan demikian biasanya pemerintah
menggunakan mekanisme pajak ekspor untuk menjamin pasokan dalam negeri yang
besarnya pernah mencapai 60%. Perkembangan harga minyak sawit (CPO) di pasar
domestik dan internasional sejak tahun 1988 sampai dengan 2002 menunjukkan
kecenderungan yang menaik. Pergerakan harga minyak sawit di pasar internasional
ditransmisikan ke pasar domestik (border
price dan whole sale price)
melalui mekanisme pasar. Secara umum pergerakan harga minyak sawit domestik
searah dengan perkembanga harga minyak sawit di pasar internasional. Selain
itu, harga minyak sawit juga mempunyai fluktuasi musiman.
Hingga saat ini,
konsumsi minyak sawit domestik diperkirakan sekitar 50%-60% dari produksi dan
penggunaannya sebagian besar untuk pangan (80%-85%) sedangkan untuk industri
oleokimia relatif masih kecil (15%-20%). Menurut perkiraan, pertumbuhan
konsumsi minyak sawit dalam negeri adalah sekitar 11,5 %/tahun. Pertumbuhan
konsumsi untuk oleopangan adalah 12%, lebih besar dibandingkan pertumbuhan
konsumsi untuk oleokimia (10%). Dengan perkiraan tersebut, maka neraca minyak
kelapa sawit Indonesia dalam lima tahun terakhir bergerak dari surplus ke arah
keseimbangan, identik dengan neraca dunia. Indonesia saat ini merupakan negara
pengekspor minyak sawit kedua terbesar di dunia setelah Malaysia. Malaysia
memegang peranan penting dalam perdagangan minyak sawit pada akhir tahun
1960-an saat Indonesia dan Nigeria mengalami stagnasi produksi. Pada tahun 1969
pangsa ekspor minyak sawit Malaysia mencapai sekitar 43 - 48 persen dari ekspor
minyak sawit dunia dan pada tahun 2002 pangsa ekspor Malaysia tumbuh menjadi
57,28 persen. Pada periode yang sama, pangsa ekspor minyak sawit Indonesia
sekitar 20,49 persen, dan 32,64 persen. Sisanya dikuasai oleh beberapa negara,
seperti Papua Nugini dan Pantai Gading. Amerika Serikat, Belanda dan Pakistan secara
tradisional merupakan negara pengimpor utama minyak sawit. Pada tahun 1969
ketiga Negara mengimpor sekitar 11 persen dari impor minyak sawit dunia. Pada
tahun 2002, pangsa impor ketiga negara meningkat menjadi sekitar 13.35 persen.
Perubahan pangsa impor ketiga negara tersebut terjadi karena adanya peningkatan
impor oleh Pakistan yang cukup nyata. Saat ini ketiga pengimpor minyak sawit
tersebut berperan cukup penting bagi Indonesia. Pada ketiga pasar tersebut,
Malaysia merupakan pesaing utama Indonesia dan umumnya CPO asal Malaysia lebih
kompetitif karena antara lain, mutu yang lebih baik dan adanya
kemudahan-kemudahan yang didapat Malaysia dari negara pengimpor dan tidak
diperoleh Indonesia. Namun, perkembangan ekspor minyak sawit Malaysia diperkirakan
akan tertahan oleh adanya keterbatasan sumber daya lahan dan tingginya tingkat
upah pekerja. Sedangkan Indonesia masih mempunyai potensi untuk berkembang
karena dukungan biaya produksi murah dan lahan potensial yang masih tersedia.
Namun Indonesia juga menghadapi kendala dalam pengembangan ekspor karena
tingkat konsumsi domestik tinggi.
Ekspor CPO Indonesia Periode Tahun 2010 - 2011
Departemen
Pertanian Amerika Serikat (US Department of Agriculture/USDA) memperkirakan,
ekspor CPO Indonesia tahun 2011 bisa mencapai 19,35 juta ton. Angka itu naik
dari perkiraan sebelumnya yang sebesar 17,85 juta ton. Sedangkan produksi CPO
Indonesia akan mencapai 25,4 juta ton pada 2011. Angka itu lebih tinggi
dibandingkan proyeksi sebelumnya sebesar 23,6 juta ton. Jika proyeksi itu
dipadukan dengan capaian ekspor CPO Indonesia pada 2010, tidak berlebihan
apabila nilai ekspor CPO Indonesia pada 2011 akan menembus US$ 20,2 miliar atau
setara Rp 180 triliun. Terlebih lagi, harga CPO sepanjang empat bulan pertama
2011 dalam tren meningkat. Harga CPO dunia kembali naik, setelah sempat
melandai pada Maret 2011.
Harga CPO di bursa
Chicago Mercantile Exchange (CME) untuk pengiriman Juni 2011 berada di level
US$ 1.140 per ton, naik 5,6% dibanding minggu kedua Maret 2011 yang masih
bertengger di level US$ 1.079 per ton. Peningkatan harga CPO di bursa global
terjadi seiring dengan tingginya harga minyak dunia yang saat ini sudah
melebihi US$ 112 per barel. Menurut Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha
Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan sepanjang 2010 nilai ekspor CPO dan
produk turunan sawit Indonesia mencapai US$ 16,4 miliar, naik 50% lebih dari
2009 yang berjumlah US$ 10 miliar. Kenaikan ini karena tingginya harga CPO
internasional. Di kuartal I 2010, nilai ekspor CPO sebesar US$ 2,66 miliar
selanjutnya bertambah menjadi US$ 3,04 miliar di kuartal II. Berikutnya di
kuartal III, nilai ekspor sebesar US$ 4,46 miliar yang kian melonjak tajam
menjadi sekitar US$ 6,32 miliar di kuartal IV.
Secara volume,
sepanjang Januari-Desember 2010 ekspor CPO Indonesia naik tipis 127.498 ton
menjadi 15.656.349 ton, dibandingkan tahun sebelumnya 15.528.851 ton.
Pertumbuhan ekspor CPO nasional didorong kenaikan pembelian oleh tiga konsumen
utama yakni India, Cina, dan Uni Eropa. Negara-negara Uni Eropa meningkatkan
jumlah pembelian CPO dan produk turunannya dari Indonesia berjumlah 3.728.677
ton. Uni Eropa lebih banyak membeli CPO sebanyak 2.537.431 ton,
RBD Stearin sebanyak
426.673 ton.RBD PO berjumlah 314.364 ton, RBD Olein sebesar 293.437 ton, PFAD
berjumlah 148.069 ton, Crude Olein
sebanyak 8.000 ton, dan Crude Stearin
sebesar 700 ton. China mengimpor CPO dan turunannya dari Indonesia berjumlah
2.410.337 ton, di mana impor terbesar berupa produk RBD Olein berjumlah
1.491.948 ton.
Selanjutnya, RBD
Stearin sebesar 632.312 ton, CPO berjumlah 231.617 ton, PFAD mencapai 46.458
ton, dan RBD PO sebanyak 8.000 ton. Bangladesh membeli CPO dan produk turunan
dari Indonesia berjumlah 629.529 ton, AS mengimpor 172.167 ton CPO dan produk
turunannya dari Indonesia. Pakistan mengimpor 87.379 ton CPO dan produk
turunannya yang turun drastis dari tahun lalu, karena tertundanya penyelesaian
Preferential Trade Agreement (PTA) Indonesia-Pakistan. Ekspor CPO dan produk
turunan Indonesia ke negara-negara lain berjumlah 2.889.182 ton.Dari total
ekspor CPO nasional, 15,6 juta ton ternyata masih didominasi ekspor minyak
sawit mentah (CPO) yang mencapai 8.779.940 ton (56,2%) dan sisanya produk
turunan CPO berjumlah 6.876.405 ton (43,8%).
Prospek CPO di Pasar Internasional
Hasil
analisis yang dilakukan FAO menunjukkan bahwa propek pasar CPO di pasar
internasional relatif masih cerah. Hal ini antara lain tercermin dari sisi
konsumsi yang diperkirakan masih terbuka dengan laju pertumbuhan konsumsi CPO
dunia diproyeksikan mencapai sekitar 3.5%-4.5% per tahun sampai dengan tahun
2005. Dengan demikian, konsumsi CPO dunia pada tahun 2005 diproyeksikan mencapai
27.67 juta ton. Untuk jangka panjang, laju peningkatan konsumsi diperkirakan
sekitar 3% per tahun.
Peningkatan yang
signifikan terutama akan terjadi pada negara yang sedang berkembang seperti di
Cina, Pakistan, dan juga Indonesia. Indonesia diperkirakan akan mengalami
peningkatan konsumsi dengan laju sekitar 4%-6% per tahun. Konsumsi CPO di Cina
dan Pakistan diproyeksikan juga akan tumbuh dengan laju sekitar 4-6% per tahun.
Sejalan dengan peluang
peningkatan konsumsi yang masih terbuka, FAO menyebutkan bahwa peluang
peningkatan produksi sampai dengan 2005 mendatang masih terbuka dengan laju
sekitar 4-5% per tahun. Produksi CPO dunia pada tahun 2005 diperkirakan sekitar
27.68 juta ton.
Produksi CPO dunia
pada dekade mendatang masih akan didominasi oleh Malaysia dan Indonesia.
Malaysia sebagai produsen utama akan mengalami peningkatan produksi dengan laju
2.8% per tahun. Indonesia diperkirakan masih akan mempunyai peluang untuk
peningkatan produksi dengan laju antara 7.6% per tahun, sehingga produksi CPO
Indonesia pada tahun 2005 mencapai 10 juta ton.
Perdagangan
(ekspor-impor) CPO dunia diproyeksikan akan meningkat dengan laju sekitar 3.8%
per tahun untuk periode 2000-2005. Dengan perkembangan yang demikian, maka
volume perdagangan pada tahun 2005 diproyeksikan sekitar 19.16 juta ton.
Malaysia dan Indonesia
tetap merupakan negara pengekspor utama dengan peluang peningkatan ekspor
masing-masing sekitar 3.2% dan 6.5% per tahun. Dari sudut alokasi pangsa pasar,
Indonesia diperkirakan masih menguasai pasar untuk negara-negara di beberapa
Eropa Barat seperti Inggris, Italia, Belanda, dan Jerman. Malaysia lebih banyak
menguasai pasar China (1.8 juta ton), India (1.7 juta ton), EU (1.5 juta ton),
Pakistan (1.1 juta ton), Mesir (0.5 juta ton), dan Jepang (0.4 juta ton).
Seperti kebanyakan
harga produk primer pertanian, harga CPO relatif sulit untuk diprediksi dengan
akurasi yang tinggi. Harga cenderung fluktuatif dengan dinamika yang perubahan
yang relatif sangat cepat. Dengan kesulitan tersebut, maka proyeksi harga yang
dilakukan lebih pada menduga kisaran harga untuk periode 2000-2005. Jika tidak
ada shock dalam perdagangan dan
produksi, maka harga CPO di pasar internasional pada periode tersebut
diperkirakan lebih tinggi bila dibandingkan dengan situasi harga tahun 2001
yang dengan rata-rata sekitar US$ 265/ton. Di samping itu, mulai menurunnya
stok pada periode menjelang 2005 juga mendukung perkiraan tersebut. Dengan
argumen tersebut, harga CPO sampai dengan 2005 diperkirakan akan berfluktuasi
sekitar US$ 350-450/ton.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar